LEGENDA datang silih berganti. Berkelana dengan ide dan perjuangan. Meninggalkan karya dan inspirasi. Warisan mereka berlanglang, melintas zaman serta generasi. Tokoh-tokoh berlabel the Great senantiasa menancapkan citra yang kuat untuk dikenang. Sebab, mereka mengukir sukses cemerlang dengan gelimang prestasi eksplosif. Para legenda mempersembahkan potensi demi masa depan. Planet ini seolah tidak bisa berotasi tanpa mereka.
Dari sejumlah legenda yang lahir di Sulawesi Selatan, sosok Fadeli Luran tergolong figur yang acap dibincangkan penuh takzim. Visinya menjadi pilar perubahan positif. Segenap aksesori pencitraannya cuma karya dan inspirasi. Warisan Fadeli Luran berupa Pesantren Modern IMMIM tak lapuk diterpa inovasi teknologi, fluktuasi mata uang, dinamika sosial serta modernitas budaya.
Fadeli Luran dan IMMIM (Ikatan Masjid Musalla Indonesia Muttahidah), ibarat koin. Kedua sisi berbeda, tetapi, nilai sama. Fadeli Luran tidak bisa dilepaskan dari IMMIM. Begitu pun sebaliknya. IMMIM tergolong pusaka supremasi Fadeli Luran sebagai tokoh historis. IMMIM tak pudar diterpa zaman, tak padam ditembus peradaban. Tetap kukuh di abad 21.
Die Hard
Sebelum dan sesudah kehadiran IMMIM, terlihat sosok Fadeli Luran yang unik. Motivasinya setegar karang sekaligus pantang menyerah. Di garis finish hidupnya, ia dikenal sebagai orang kampung yang menjelma spesies super. Idenya gemilang untuk disorot sejarah. Alhasil, namanya bertabur tabik takzim.
Fadeli Luran adalah die hard (pantang mengalah) seperti sosok Letnan John McClane (Bruce Willis) di film Die Hard. Di sisi lain, Fadeli Luran juga figur yang tabah. Ia tahu bagaimana menghayati sifat sabar. Ia difitnah, diburu, disiksa serta dipenjarakan. Semua ada ujungnya, batasnya dan akhirnya. Saat kesabaran terus teruji, semuanya pun berubah berkat perputaran nasib. Keberuntungan kemudian berpihak kepada insan sabar. Fadeli Luran menggapai elemen eksistensi hidup yang selezat kurma Ajwa. Semua mendadak indah sebagaimana pepatah Arab: “man shabara zhafira” (orang sabar pasti berjaya).
Bertaruh Salam
Fadeli Luran serta Muhammad Jusuf Kalla pernah bertaruh tentang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr Daoed Joesoef. Keduanya bertaruh tentang salam “Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”. Bila Daoed Joesoef mengucapkan salam, berarti Fadeli Luran yang menang. Tentu saja, hadiahnya sekedar kebanggaan.
Usai upacara Dies Natalis Universitas Hasanuddin, Daoed Joesoef pun bergegas ke Bandara Hasanuddin di Mandai. Ketika akan naik ke pesawat. Fadeli Luran menjabat tangan sang menteri sambil mengucap salam: “Assalamu Alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Mendengar itu, Daoed Joesoef hanya tersenyum. Pendiri IMMIM itu mengulang lagi. Jawaban Daoed Joesoef tetap tidak ada kecuali gumam kecil. Gelagat yang diperlihatkan tokoh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tersebut membuat Fadeli Luran memegang erat tangan Daoed Joesoef seraya meninggikan suara. “Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.
Suasana yang menimbulkan keterpaksaan itu, mendorong Daoed Joesoef membalas salam Fadeli Luran. Kalau tidak, jelas tangan Mendikbud tak bakal dilepas.
Saat terjadi demonstrasi helm yang banyak menelan korban jiwa, massa mengerubungi rumah Fadeli Luran di Jalan Lanto Daeng Pasewang No 55. Pasalnya, 1 November 1987 pada pukul 20.30, seorang penyiar TVRI Ujung Pandang, mengutip pernyataannya bahwa “memakai helm wajib hukumnya”. Mahasiswa yang marah atas tragedi helm, akhirnya berduyun-duyun mengerubuti rumahnya. Padahal, Fadeli Luran tidak pernah melontarkan fatwa bahwa “memakai helm wajib hukumnya”.
Ajal Menjemput
FADELI Luran wafat pada Ahad, 1 Maret 1992. Ia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Menjelang ajalnya, Fadeli Luran cuma mampu mengunyah empat sendok bubur yang diberikan Siti Rahmah, istri yang setia menemaninya dalam suka dan duka.
Ketika seteguk air membasahi tenggorakannya, Fadeli Luran tiba-tiba batuk. Mendadak di sekelilingnya berubah gelap. Suster kemudian membantu detak jantungnya dengan alat pernafasan. Di layar monitor elektrokardiogram (EKG), terlihat grafik denyut jantungnya redup menjadi garis tipis lurus pertanda kematian mulai menyongsong. Tangannya yang lemah lalu mencabut selang pernafasan yang melengket di hidung. Dengan suara pelan, Fadeli Luran lantas menyebut asma Tuhan, “Allah…”.
Detik-detik mencekam tersebut berakhir dengan terhentinya detak jantung. Nafas pun putus. Legenda itu akhirnya menemui ujung perjalanan. Ia pamit dari kefanaan di usia senja setelah mengukir momen-momen indah dalam hidupnya. Innalillahi wa innailaihi rajiun.
Bukan TMP
Pukul 07.30. WIB, Fadeli Luran meninggalkan segala hal yang telah dipejuangkan. Pengagum Bung Hatta yang banyak meninggalkan monumen Islam tersebut, tak kuasa menahan ajalnya.
Kesehatan Fadeli Luran menurun sejak operasi penyakit penyempitan pembuluh darah yang terdapat di kakinya di Rumah Sakit Academisch Medisch Centrum (AMC) di Universiteit van Amsterdam, Belanda pada 1987. Selain menderita katarak, ia pun mengidap lever.
Fadeli Luran wafat penuh kehormatan. Tidak meninggalkan cemooh. Tak ada lidah-lidah bergunjing jahat atas martabatnya di panggung sejarah. Ia petarung kehidupan yang bekerja sampai tersungkur roboh. Ia dimuliakan berkat karyanya yang abadi di panggung sejarah. Fadeli Luran adalah mitos yang mendorong kualitas positif umat.
Ketika jenazah disemayamkan, Rahmah dihampiri petugas militer. Petugas menyampaikan bahwa seluruh keperluan penguburan di Taman Makam Pahlawan (TMP) segera disiapkan.
“Bapak tidak pernah menyebut TMP”, jelas Rahmah.
Satu jam berikutnya, petugas lain ke rumah duka. Ia hendak memastikan di mana Fadeli Luran akan dimakamkan. “TMP atau Pekuburan Islam Panaikang”. Rahmah tegas memilih pekuburan Islam karena tidak ada wasiat perihal TMP.
Brilian
SEMASA hidupnya, sosok pria tinggi besar tersebut merupakan figur pemimpin yang brilian. Arkian, ia sanggup menjabat berbagai posisi krusial di sejumlah organisasi. Di samping Ketua Umum DPP IMMIM, Fadeli Luran juga diangkat menjadi Ketua Orpeha (Organisasi Persaudaraan Haji) maupun anggota Dewan Penyantun Unhas, Universitas Negeri Makassar, Universitas Muhammadiyah, UIN Alauddin serta Universitas Bosowa.
Pada tahun 60-an, Fadeli Luran menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD-GR) Kotapraja Makassar. Kurun waktu 1965-1967, ia menjabat Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI). Pada 1967, Fadeli Luran yang punya kualitas kepribadian individu diserahi tugas oleh Andi Pangerang Pettarani sebagai Ketua Yayasan Badan Wakaf UMI Makassar. Bahkan, ia pun pernah ditunjuk sebagai penasehat lembaga drama. Ini membuktikan bahwa Fadeli Luran cakap dalam aneka pokok bahasan. Sebab, mengutamakan ketelitian logika. Berpikir, sesudah itu beraksi.
Satyalencana
Lembaran atribut Fadeli Luran, marak pula dengan pelbagai
prestasi di kemiliteran. Kendati mengakhiri karier ketentaraannya dengan
pangkat Letnan II, namun, ia pernah mengabdi sebagai Wakil Komandan Batalyon.
Di Kabapaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Fadeli Luran pernah menjabat
komandan kompi. Sedangkan surat penghargaan yang diperolehnya ialah
Satyalencana Bhakti 17 Agustus 1958, Bintang Gerilya 10 November 1958,
Satyalencana Peristiwa Aksi Militer Kesatu 17 Agustus 1958 dan Satyalencana
Peristiwa Aksi Militer Kedua 17 Agustus 1958.
Pada 1980, Fadeli Luran bersama Jusuf Kalla, AT Salama serta H Ince Muhammad Ibrahim, membangun Rumah Sakit Faisal. Rumah sakit yang dibiayai Kerajaan Arab Saudi tersebut, terletak di kawasan Gunungsari seluas lima hektar. Dalam menopang keberadaannya, dibentuk pula Yayasan Rumah Sakit Faisal (Yasrif).
Secercah harapan terlintas untuk membangun rumah sakit ketika Duta Besar Saudi Arabia Sheikh Bakr Alkhamais menjalin ukhuwah dengan Fadeli Luran. Niat luhur tersebut akhirnya mendapat lampu hijau seterang kristal dari Kerajaan Arab Saudi. Selain sebagai pionir pembangunan serta Ketua Yasrif, Fadeli Luran juga mendirikan Apotik Farida Rahmah pada 1980.
Murid HAMKA
Sekalipun banyak berkecimpung di bidang pendidikan, namun, pendidikan formal Fadeli Luran hanya kelas III Sekolah Dasar. Jenjang pendidikan seumur jagung itu, justru tidak menghalanginya tampil meng-SK-kan lebih seribu sarjana.
Fadeli Luran bukan cuma fasih bergelut di dunia pendidikan, ia pun aktif dalam berbagai kegiatan Islam. Hingga, masyarakat menyebutnya ulama. Fadeli Luran menampik predikat tersebut. Ia lebih suka dirinya dianggap sebagai zuama (pemimpin informal) yang membina organisasi kaum Muslim. Padahal, tempat Fadeli Luran mengkaji ilmu keislaman adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dan Mohammad Natsir. Buya Hamka sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, malahan menganggapnya sebagai anak sendiri.
Kompilasi Pujian
KISAH Fadeli Luran seolah koleksi hikayat dari kompilasi para legenda Tanah Air. Sikap dan tindakannya memimpin organisasi, terekam dalam memori kolektif. Mantan Walikota Makassar H Muhammad Daeng Patompo, memujinya.
“Kepemimpinan Fadeli Luran sulit ditemukan saat ini. Cuma sedikit orang yang bisa memiliki kharisma seperti Fadeli Luran. Dia itu manusia ngotot. Kengototannya, karena, bisa menghimpun umat Islam untuk ikut dalam masjid. Apalagi, Fadeli Luran tidak pandang siang atau malam, yang jelas ia selalu berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi”.
H Ilham Aliem Bachrie, tokoh pemuda era 90-an, melihat figur Fadeli Luran sebagai insan agamis.
“Rasa cinta kepada agamanya sangat tinggi. Susah mencari orang seperti Fadeli Luran. Sebab, ia ibarat gabungan tiga orang. Idenya cemerlang serta mudah berkomunikasi dengan pelbagai golongan”.
“Fadeli Luran itu tegas sekaligus bijaksana. Dalam beberapa hal, ciri leadership yang dimiliki bertipe paternalis. Di sisi lain, juga demokratis. Fadeli Luran ibarat sebuah ungkapan, katakan yang benar walau pahit”. Begitu tutur Baharuddin Daeng Massikki tentang Fadeli Luran.
A Hamid Aly, rekannya saat masih kecil mengungkap kalau Fadeli Luran punya keistimewaan.
“Ia memang sudah dikaruniai oleh Tuhan berupa ilham dan ilmu”, tegas Hamid Aly. Pernyataan ini menegaskan bahwa peran Fadeli Luran yang mutlak sudah ditakdirkan.
Fadeli Luran Award
Waktu berputar, zaman berubah, tetapi, legenda tak habis dikenang. Kini, tiap tahun diadakan pemberian Fadeli Luran Award. Penghargaan ini diberikan kepada mubalig-mubalig agung Indonesia. Penerima Fadeli Luran Award antara lain Prof Dr M Quraish Shihab dan Prof Dr Nasaruddin Umar.
Nama Fadeli Luran terus tergiang-nyaring. Di Pangkep, namanya diabadikan sebagai penanda pengguna lalu-lintas yang bolak-balik hilir-mudik. Jalan Fadeli Luran terletak di Jalan Poros Minasate’ne. Jalan Fadeli Luran merupakan akses alternatif bagi para karyawan yang berdomisili di Makassar, tetapi, bekerja di Pangkep.
Riwayat Fadeli Luran mengindikasikan nobody to somebody. From nothing to something. From zero to hero. Inilah yang menginspirasi sejumlah santri untuk menerbitkan buku bertajuk Fadeli Luran di Mata 100 Santri.
Joki Tenrisannae
FADELI Luran mengeak pertama kali di Dusun Bampu, Desa Talaga, Enrekang. Ia lahir dari rahim Haji Rawe pada 2 Januari 1922. Fadeli Luran merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Mereka adalah Misa, Fadeli, Kasim, Mastura, Hamida dan Sawedi. Luran, ayahnya seorang penjual ikan di pasar kabupaten yang juga petani garapan.
Bayi montok tersebut, tumbuh menjadi anak pemberani. Saat di SD, keberaniannya menyentuh hati Tuan Guru Sahibe, kepala sekolahnya. Mentalnya sudah siap jadi singa saat masih bocah. Hingga, ia dipercaya menjadi joki kuda Sahibe yang bernama Tenrisannae (Tak Terduga). Fadeli Luran yang menunggang Tenrisannae selalu juara satu. Mereka berlomba di pacuan kuda yang terletak di kampung Patili. Kepopuleran Tenrisannae bersama Fadeli Luran, mendorong Sahibe untuk memperkenankannya tinggal di rumahnya.
Selain bersekolah, Fadeli Luran pun ikut mengaji di Dusun Bamba, dua kilometer dari Bampu. Di sana, ia diajar tajwid oleh Wa’ Baco. Kemampuan Fadeli Luran membaca ayat suci al-Qur’an, ditunjang oleh suaranya yang nyaring melengking. Bahkan, jika Wa’ Bco berhalangan, maka, Fadeli Luran yang mengajar rekan-rekannya. Hamid Aly, seorang di antaranya yang pernah diajar oleh Fadeli Luran.
H Akhmad Sinau, teman sepermainan Fadeli Luran berkisah bahwa anak itu tergolong cerdas. “Di masa kecil ia pandai. Fadeli Luran fasih berbicara dan selalu menjadi pemimpin. Saat masih bocah, saya serta Fadeli Luran sering ikut main bola. Jeruk yang kami jadikan bola. Kami dengan teman-teman main bola di tanah luas di bawah pohon kelapa”.
Asmara Kandas
Sesudah menetap selama dua tahun di rumah Sahibe, Fadeli Luran kemudian ke Maroanging. Sejak itu, sekolah ia tinggalkan setelah duduk di kelas III SD.
Di Maroanging, Fadeli Luran menetap di rumah Ye’ Makka, pamannya. Di kampung tersebut, ia membantu Ye’ Makka yang mandor jalan. Walau hidup di pedalaman tidak dinamis, namun, Fadeli Luran tidak pernah bersikap tercela atau berulah ugal-ugalan. Ia tetap tekun dan tabah. Ini sangat mengesankan Lim Keng Yong. Kepala Dinas Pekerjaan Umum yang keturunan Tionghoa itu, akhirnya mengajak Fadeli Luran untuk tinggal di kediamannya di Bamba.
Ketika menetap di rumah Lim Keng Yong, Fadeli Luran jatuh cinta dengan putri seorang bangsawan. Perjalanan asmara tersebut, putus sesudah orangtua sang gadis keberatan. Atas desakan keluarga ningrat itu, maka, Fadeli Luran akhirnya meninggalkan Bamba.
Wiraswasta
Fadeli Luran kemudian berdagang bahan pokok sehari-hari. Dari Enrekang, ia membawa beras dan jagung untuk dijual di Makassar. Saat balik, ia membawa kain, merica, bawang putih, sabun serta beberapa keperluan dapur. Barang itu kemudian dibeli oleh para penjual eceran di pasar.
Siklus perdagangan dari Enrekang ke Makassar, menempa wawasan Fadeli Luran mengenai dunia wiraswasta. Papa Tensi, pamannya yang jongos Belanda, tempat Fadeli Luran menginap bila ke Makassar, sangat bangga melihat potensi keponakannya.
Fadeli Luran lalu merantau ke Balikpapan untuk mengadu nasib demi pengembangan usaha. Ia ikut dengan Mama Cimba, tantenya untuk mengadu nasib. Dalam kegairahan baru di Balikpapan, Fadeli Luran menjadi polisi. Selain sebagai abdi negara yang setia kepada negara, ia juga berdagang gula merah serta keperluan rumah tangga lainnya. Bahkan, ia pun belajar qasidah dan barzanji.
Figur Fadeli Luran tidak sudi membiarkan ada lowongan yang mubazir. Ia punya setengah karung tips dan trik dalam menakhodai bahtera hidupnya. Ia polisi, pedagang, pegiat seni serta aktif menekuni ilmu agama. Sosoknya merupakan manusia langka yang banyak akal dalam mengarungi terjangan hidup keras di masa penjajahan.
Pada 1940, Fadeli Luran menikah dengan Hatijah. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai Abdul Rahman, Cahyani dan Sultani. Sesudah bercerai, Fadeli Luran menikah dengan Tanri. Dari Tanri, ia memperoleh tiga anak; Ishak, Halifah serta Usman Thamrin. Mahligai rumah tangga mereka akhirnya kandas. (bersambung)
Oleh Abdul Haris Booegies dan Daswar M Rewo