Dalam sebuah forum diskusi, diantara ketiga narasumber, saya sendiri yang paling muda, disamping diberi kesempatan untuk menyampaikan sepatah-duapatah kata, sesungguhnya sambil belajar juga dari kedua narasumber. Dalam hierarki akademis tentu sangat berjarak, bang fajlur adalah dosen muda Unhas yang sudah nulis 21 buku, dan bang aksa adalah dosen muda UIN yang sangat menginspirasi. Karena ini adalah forum organisasi daerah sekaligus Untuk menyikapi kecanggungan karena Ta’zim sama beliau berdua, maka saya lebih senang menilainya dalam konteks persaudaraan, sebagai saudara menjadi sangat lumrah jika ada yang tampil sebagai kakak dan saya sendiri sebagai adik.
Yang sempat saya sampaikan ialah pandangan kritis atas realita pemuda dalam konteks sosial budaya yang hari ini menjadi manusia setengah robot, separuh dari sisi kemanusiaannya telah hilang ditelan arus modernitas, sementara separuhnya lagi tersesat terpenjara dalam diri tak tau arah. Kita adalah manusia teknologis, peran kita sebagai manusia tak penting lagi, yang penting adalah peran teknologi, sehingga ini turut mengkosntruk pandangan bahwa manusia dianggap bernilai kalau telah memiliki sejumlah alat yang canggih dengan jumlah yang banyak. Harkat dan martabat tidak lagi atas dasar kemanusiaan melainkan atas dasar barang, manusia menjadi tak lebih berharga dari sebuah barang. Ini berdampak kurang baik bagi cara bersikap. Mereka yang otaknya lumayan namun karena terbatas secara materi terpaksa dibuat minder sementara manusia berotak dangkal tampil percaya diri bermodal sejumlah barang.
Manusia semakin teralienasi dari kemanusiaannya, dimana tujuannya telah dikondisikan oleh situasi. Kesejukan alam bukan lagi sebagai tempat untuk dinikmati karena ia telah berubah menjadi sekdar tempat untuk selfie, tak sedikit orang kehilangan nyawa karena tempat selfie yang ekstrim. Tak sah ke Jakarta bila belum mengunjungi monas dan tak sah ada dimonas jika belum diposting, demi mendapatkan sejumlah like dan komentar. Gaya seperti ini dalam bahasa agama disebut riya, orang Sulawesi menyebutnya mau dibilang, bahasa formalnya adalah pamer. Kecanggihan teknologi bukan lagi sebagai sarana pembebasan, handphone bukan lagi sekedar membebaskan atas keterbatasan komunikasi, kendaraan bukan hanya membebaskan dari keterbatasan jarak, tapi ia telah melampaui batas fungsinya. Manusia sibuk melayani kemajuan, bukan kemajuan yang melayani manusia, merasa sangat menderita bila tiga jam meninggalkan Hpnya, tiga hari ia merasa kehilangan dunia dan seisinya.
Diakui atau tidak, hari ini bukan lagi kebutuhan nyata manusia yang menentukan produksi, tapi kebutuhan diciptakan supaya hasil produksi bisa laku, yang bekerja merekayasa kebutuhan manusia adalah dunia industri, dipamerkanlah sejumlah kendaraan yang selalu diperbaharui setiap tahunnya melalui media, ini sangat pas dengan gaya konsumerisme kita yang suka bersosial media, merasa butuh untuk memiliki keluaran terbaru, ketika perasaan itu muncul maka rekayasa dunia industri sudah berhasil, anda telah masuk dalam jebakan. Nenek moyang kita dulu merasa cukup-cukup saja berpindah dari satu tempat ke tempat yang jauh dengan berjalan kaki, tak ada yang mengeluh, justru persaudaraannya menjadi sangat harmonis karena yang terjalin adalah komunikasi langsung, hari ini komunikasi yang berjarak yang terjadi adalah hoax, berita dengan judul positif jarang dibaca, judul negatif langsung dishare tanpa baca, yang tercipta hanyalah fitnah demi fitnah.
Dunia industri menawarkan kebahagiaan yang semu. Bahagia yang digantungkan pada banyaknya benda, padahal ketenangan jiwa tak bisa diraih dan diukur secara materealistik. Orang yang hampir tak punyai apa-apa boleh jadi jauh lebih cukup dari mereka yang berkecukupan. Anehnya adalah yang berkecukupan kadang masih tak merasa cukup juga. Biasanya ini yang merusak tatanan Negeri. Manusia selalu bekerja bukan atas dasar kebutuhan, melainkan atas dasar kepuasan. Tak puas bila tak serakah, toh hidup Cuma sekali mengapa tak dinikmati.
Manusia kini semakin terisolasi dari manusia dan kemanusiaan. Kemanusiaan semakin berjarak darinya dimana benda lebih utama. Terisolasinya dari manusia ialah betul dalam satu situasai raganya sedang bersama manusia tapi jiwanya melayang dibalik layar sosial media. Merasa punya teman ribuan di alam ilusi tapi saat ia angkat kepala hampir tak ada yang mengenalinya, bagaimana tidak, gambar yang dipajang begitu gagah rupawan nan cantik jelita putih tanpa noda, bila tiba saatnya berpapasan di alam nyata ia hampir tak dikenali ternyata warnanya bagai pelangi diawan mendung. Kelancaran sarana komunikasi tak murni melancarkan interaksi inidividu. Dampak yang lebih nyata ialah manusia semakin terisolasi.
Yang ahirnya manusia hanyalah pelayan bagi mesin-mesin, manusia menjadi budak mesinnya jadi raja, inilah generasi kami ! dan kami bangga.!
Tulisan ini mungkin Gokil, tapi akal harus jujur terhadap kenyataan. Generasi butuh untuk diobati, karena masih banyak tugas kepemudan dan kemanusiaan yg lebih butuh untuk diseriusi.
Penulis
Abdul Ghani
Wali Thalib Pesantren IMMIM Putra Makassar