Stereotype Threat dan Label pada Anak

2016-03-06 | Artikel Pembina
gambar

Oleh Hillman Wirawan.

Saya bukan ahli Psikologi Sosial ataupun Psikologi Pendidikan, apalagi Psikologi Perkembangan. Tetapi, ada suatu hal menarik yang sempat saya temukan mengenai Stereotype Threat. Fenomena ini (Stereotype Threat) telah banyak dibahas di berbagai area ilmu Psikologi seperti Psikologi Sosial, Intelligensi, Pendidikan, dan bahkan perkembangan. Saya yakin, beberapa teman yang ahli telah banyak membaca tentang ini.

Stereotype Threat adalah sebuah kondisi dimana seseorang merasa dalam situasi beresiko (atau bahkan terancam) karena stereotype negatif yang dialamatkan pada dirinya. Secara sederhana, orang yang merasa terancam karena dipandang negatif karena ras, agama, suku, dan lain sebagainya. Ini tidak hanya sebatas itu, bisa saja melibatkan gender, status sosial, bahkan ranking di kelas.

psikologi anak

Bagaimana ini bisa terjadi, saya berikan contoh yang sudah dibuktikan melalui penelitian (lihat Spencer, S. J., Steele, C. M., & Quinn, D. M. (1999). Stereotype threat and women’s math performance. Journal of Experimental Social Psychology, 35(1), 4-28). Penelitian ini mengejutkan, hanya dengan mengganti sedikit instruksi tes matematika perbedaan hasil tes pria dan wanita berbeda. Ketika disampaikan bahwa tes tersebut tidak ada hubungannya dengan perbedaan gender, hasil tes wanita dan pria tidak jauh berbeda. Tetapi, ketika dipertegas bahwa tes matematika ini dapat melihat perbedaan kemampuan matematika pria dan wanita, terjadi perbedaan skor. Hasilnya, skor wanita cenderung lebih rendah dibandingkan pria. Perlu diingat, ini terjadi karena di lingkungan partisipan cenderung menganggap pria lebih baik dari wanita dalam hal logika. Ini bukan satu-satunya hasil penelitian mengenai fenomena ini, ada beberapa lagi. Seperti, efek terpilihnya presiden Obama terhadap naiknya hasil tes intelligensi masyarakat Afrika-Amerika (kulit hitam).

Apakah ini hanya terjadi pada ras? Tidak, ini juga terjadi pada individu bahkan anak-anak. Anak-anak juga bisa merasa terancam dengan stereotype tertentu. Bayangkan anak-anak yang selalu dibandingkan dengan anak lainnya, dianggap tidak cerdas, direndahkan, dan diejek. Sangat memungkinkan mengalami stereotype threat. Perlahan, sang anak mulai “mengiyakan/ confirm” apa yang “di-label-kan” pada dirinya. Dampak ini tidak selalu dimulai dari label yang terlihat jelas negatif. Coba pikirkan, seorang anak yang masih berusia delapan tahun di-label “kamu otak kanan”, “kamu visual”, “kamu otak kiri” dan label-label lainnya. Di tambah lagi, jika hasil analisis ini (yang hanya menebak-nebak) terus di “confirm” oleh orangtua, keluarga, dan lingkungan. Jadilah anak-anak ini sesuai label yang diberikan kepada mereka. Meskipun, sebenarnya tidak seperti itu.

***Sekedar tambahan informasi, Learning Styles (Visual, Auditory, Kinestetik) masih menjadi perdebatan. Hasil kajian APA menyatakan tidak ada bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung efektivitas Learning Styles (Lihat Pashler, et. al., (2008). Learning Styles; Concept and Evidence. Psychological Science in Public Interest, 9(3), 105-119). Begitu pula dengan teori Multiple Intelligence (MI) yang terkadang keliru dipahami seperti beberapa pernyataan yang beredar dan diterapkan namun sebenarnya tidak pernah dinyatakan oleh penemu MI sendiri (Howard Gardner)***

Lanjut…

Sebuah kisah, Thomas A. Edison seorang ilmuan hebat. Dia pernah diberikan surat dari sekolah dan diminta untuk menyerahkan surat itu kepada ibunya. Ibu Edison dihadapan anaknya membaca surat itu dengan keras sambil menangis memperdengarkan anaknya “Your son is a genius. This school is too small for him and doesn’t have enough good teachers for training him. Please teach him yourself.” Padahal, isi surat itu sebenarnya “Your son is mentally ill. We won’t let him come to school anymore.” Seorang ibu yang hebat, memberikan “label” luar biasa kepada anaknya untuk membuat anaknya mau berjuang menggapai cita-citanya.

edison mother

Tentu saja, selama masa perkembangan kita berusaha, gagal, pusing berpikir, hingga pada akhirnya menemukan jawaban. Jika anak-anak sudah sejak awal diberitahu, “kamu otak kanan” jadi tidak mungkin jadi jenius fisika, apakah anak ini betul-betul akan mengeluarkan kemampuan terbaiknya belajar? Atau sebaliknya, dengan kata “kamu otak kiri” sehingga anak ini menganggap kegagalannya membuat sebuah karya seni karena ketidakmampuannya. Jadi bagaimana? Ringkasnya, jangan gampang memberikan label tertentu kepada anak apalagi label negatif. Biarkan dia tumbuh, berkembang, berusaha, berjuang dan “membanting tulang.” Memang sulit untuk memahami ini karena anak juga perlu diarahkan menuju potensi terbaiknya.

Teringat seorang ibu di taman tempat Ayman biasa bermain, anaknya berusaha naik di sebuah mainan tapi ibunya terus melihat saja. Anaknya sudah minta tolong tetapi ibunya hanya bilang “tidak… kamu harus berusaha dulu” hingga anaknya berhasil naik tanpa bantuan ibunya. Dosen di kampus juga sepertinya begitu, kalau kami mengeluh minta bantuan jawabannya “I want you to struggle first.” Dengan begitu, kita belajar dan menghargai usaha.

Akhirnya, saya bukan ahli di bidang ini. Jadi, lebih lanjut tanyakan kepada yang lebih ahli.

Semoga bermanfaat,

Hillman Wirawan New Jersey, March 5, 2016 Repost dari status Facebook

Beri Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan